Pertimbangan Setengah Matang

Flashback ke tiga tahun yang lalu saat awal tinggal di Jakarta. Waktu itu aku ngerasa dilema. Dibayangi pikiran untuk berpindah kamar kos atau menetap di kos yang lama. Bayangan ini tiba-tiba aja berkecamuk di setiap pulang kerja yang bercampur rasa lelah. Lelah bukan lelah kerjanya, tapi di jalanannya! Memang jarak dari kos ke kantor terbilang lumayan jauh. Yaa sekitar setengah jam, belum ditambah macetnya Jakarta yang bikin hidup abis di jalan. Terutama jam pulang kantor yang padetnya udah gak ketolong, klakson dimana-mana bahkan sering juga orang beradu omelan buat saling mendahului. Minimal kepala nyut-nyutan kalo udah begitu.

Selain jarak, ada faktor lain yang bikin aku berpikir untuk pindah tempat bertengger. Yaitu kosan yang berkonsep PANTI JOMPO yang dijaga ketat dengan kasih sayang berlebih oleh pemiliknya. Ya, kosan pertama yang kutinggali pada saat itu. Keluar kamar aja, tiga pintu besi yang harus kulewati tiap hari. Setiap mau keluar kosan, yang pertama dipikirin bukan tujuan kemana mau pergi, tapi jadi apa enggaknya buat jalan keluar karena selalu keinget segala keribetan itu. Semuanya aman memang, siapa pun yang keluar-masuk pasti ketahuan sama si ibu kos. Ada tiga CCTV di sudut-sudut ruangan, ditambah lonceng yang terpasang di setiap pintu besi yang pasti mengeluarkan bunyi dengan gema yang aneh kalo lagi dibuka atau ditutup. Yang bikin lebih mager lagi, tiap keluar dari kos, pintu-pintu itu sering banget digembok tanpa informasi yang jelas sama si pemilik. Masih mending kalo lagi keluar berangkat kerja, atau paling enggak keluar lumayan lama. Tapi kalo cuma beli makan di depan gang terus gak lama kemudian balik lagi, ribetnya udah kayak mau malingin rumah warga.

Setelah beberapa hari membujuk diri sendiri, aku masih aja kebayang buat pindah. Biar lebih simpel dan gak jauh-jauh amat karena pengeluaran buat bensin juga terhitung lumayan. Salah seorang temen kantor pun akhirnya ngasih referensi kosan yang pernah dia tinggali sekitar 4 tahun. Mungkin jaraknya cuma 5 menit dari kantor. Jadi aku sempetin buat mampir sambil liat-liat pas jam istirahat.

Setelah nyempetin ke kosan itu, kamarnya lebih kecil dari kamarku waktu, ditambah kamar mandi kecil di dalem. Harganya pun lebih murah, selisih 200 ribu. Sebagai anak kos teladan, kupikir 200 ribu lumayan juga buat tambahan nabung (di perut). Bapak pemilik kos itu juga ramah, dia ngasih tau apa aja yang jadi peraturan di kos miliknya itu sambil bercanda ria, yang ditunjukkin dengan senyum di giginya yang udah lumayan meranggas.

Setelah itu, akhirnya aku mutusin buat milih kamar yang baru aja ditunjukkinnya. DP udah terbayar, dan sisanya besok sekalian mindahin barang. Masalah mindahin barang bisa dipikir besok, yang penting kamar udah ke-booking duluan supaya nggak diduluin orang lain.

Keesokan harinya, setelah pulang kerja, barang di kosan mulai kukemas sekalian pamit ke bu kos lewat wasap. Aku mutusin buat ngangkut barang-barang itu pake motor (biar gak mahal). Ada satu koper, dua tas ransel, dan satu kardus yang isinya aku udah nggak inget. Susah bener pas dinaikin motor. Setelah beberapa menit, semua berhasil kumuat. Motor pun kukendarai pelan-pelan supaya gak pada jatuh, mengingat semuanya berat. Malem-malem struggle bawa barang segitu banyak, aku jadi kayak maling yang berusaha achieve target.

Sesampainya di kosan baru, barang-barang itu aku turunin dan akhirnya aku bisa istirahat. Gak lama kemudian, inisiatifku tiba-tiba muncul buat menata rapi semuanya, meski tadi sempet kelelahan di perjalanan. Gak berapa lama kemudian saat lagi beres-beres, tiba-tiba kecium bau kurang enak. Firasatku mengatakan itu bau khas kecoa yang kita tau baunya kaya wc atau selokan. Aku baru sadar akan bau itu, karena kemarin pas pertama survey kosan, aku lebih lama ngobrol di teras sama pak kos daripada meresapi atmosfer di dalem kamar. Bau itu semakin menyengat dan aku berusaha cari tau darimana. Akhirnya penciumanku tertuju ke arah kamar mandi. Pintu kamar mandi pun terbuka dan aku ngeliat ada tiga kecoa lagi ngumpul kaya lagi diskusiin sesuatu. Aku siram mereka sambil bismillah supaya tenggelam dan masuk ke lubang tempat keluar air. Setelah beberapa siraman, mereka nyemplung ke lubang itu dan aku lanjut beresin barang.

Semuanya udah rapi, dan tinggal istirahat aja. Setelah keringat kering, aku mutusin buat mandi biar badan seger. Hal yang sama pun terjadi lagi, buka pintu kamar mandi, yang nyambut kecoa dan kali ini lagi koalisi. Sekarang ada empat orang.... empat ekor dengan bau yang sama nyengatnya. Aku gak tau itu kecoa yang tadi atau pengunjung baru, karena setelah kulihat wajah mereka sama. Kusiram lagi sampe masuk ke lubang. Mood buat mandi mendadak ilang, karena kupikir tempat yang 'berkecoa' itu tempat yang gak bersih. Jadi, gegara kecoa-kecoa tersebut aku gak mandi. Tiduran di kasur dengan keringat sisa kerja kerasku tadi. Gak lama kemudian, aku pun tidur.

Setelah beberapa jam tidur, aku terbangun karena merasa sesuatu yang mengelus dan merayapi paha dan kakiku. Ternyata itu adalah salah satu kecoa yang udah sempet tersiram dan kini imigrasi masuk ke dalam kamar, jika dilihat dari permukaan punggungnya yang lembek dan basah. Kali ini, aku ambil penebah buat mengusirnya. Setelah kepergiannya, aku duduk dan kembali berpikir.

"Gini amat mau hemat", aku ngomong sendiri.

Kamarnya kecil, bau, dan kurang bersih. Setelah menyadari hal ini, aku tiba-tiba mikir untuk kedua kalinya buat kembali atau menetap di tempat ini. Dan gak lama kemudian, kecoa nongol lagi. Dalam hati, "Fix! Balik kos lama". Karena meski ribet, kos lama jauh lebih bersih mengingat pemilik kos yang sangat perhatian dengan rumahnya itu.

Dini hari itu juga aku mikirin gimana caranya keluar dengan alasan yang paling masuk akal. Ide demi ide telah terlintas di kepala, dan akhirnya pikiran khayalku tertuju ke alasan "kakek di kampung meninggal, besok saya harus pulang dengan pesawat", meski kakekku udah meninggal setaun yang lalu.

Pagi pun datang dan aku udah siap dengan ide absurd itu buat keluar dari kosan ini. Aku datang ke ruang tamu pak kos dan aku berusaha menyampaikan alasan itu. Dengan inti pembicaraan uang yang udah terbayar, aku terpaksa memintanya lagi untuk bayar pesawat dan gak jadi ngekos di kosan tersebut. Dengan rendah hatinya, pak kos memaklumi dan mengijinkanku buat pergi sambil menyodorkan sejumlah uang itu. Perasaan menyesal hinggap di hati, aku pun berpamitan dan sesegera mungkin menghubungi bu kos lama untuk booking kamar lamaku. Tapi untungnya, kamar itu belum berpenghuni. Bu kos pun meng-iyakan ijinku untuk kembali lagi. Aku pun kembali ke panti jompo yang sekitar 10 bulan ku tinggali itu dengan perasaan lega bercampur sedih. Lega karena gak lagi repot ngusir kecoa, dan sedih karena sempat membohongi pak kos yang baik itu.

Terkadang, membayar lebih untuk hal yang bernilai bukanlah hal yang sia-sia. Membayar untuk sesuatu yang memberikan manfaat lebih baik adalah contoh dari secuil cerita di atas. Ditambah, perantauan ini bertujuan untuk merintis karir demi hidup yang lebih baik. Dan pastinya membutuhkan tempat istirahat yang nyaman. Yaa, setelah seharian menguras pikiran dan tenaga gak ada salahnya untuk melepas lelah di tempat yang nyaman. Padahal dengan sedikit kesabaran, aku bisa saja mendapatkan tempat kos lain yang lebih baik bahkan dengan jarak tempuh yang tak seberapa jauh dari tempat kerja. Mengingat jaman telah berubah, nggak perlu repot lagi. Cukup bermodal handphone dan aplikasi pencari seperti Mamikos, kita udah bisa mengecek dimana dan akan seperti apa wajah kamar yang kita inginkan sesuai budget yang kita siapkan. Tanpa harus gegabah seperti yang udah terjadi tiga tahun lalu. Terkesan sepele, tapi dari hal sepele itulah seseorang akan belajar. 

Komentar

Postingan Populer