Jarak Tak Terpandang

WFH akhirnya berubah jadi Hybrid. Bukan Hybrid Theory, album yang bakal bikin kepala ngangguk-ngangguk dan badan jingkrak-jingkrak kegirangan oleh track-track luar biasa di dalamnya. Tapi sistem gabungan antara kerja dari rumah dan kantor yang perlahan memulihkan sosoalisasi umat manusia. Yang sebelumnya mereka terpisah oleh jarak dan membuat berbagai platform penyedia komunikasi online semakin marak digunakan, kini perlahan telah kembali pulih dengan pertemuan-pertemuan dan sapaan seperti sedia kala di perkantoran. Biasanya, ada jadwal giliran buat yang bakal masuk kantor. Untuk yang sedang WFH, meskipun gak harus di rumah bisa aja memilih untuk kerja di cafe, warkop, atau kamar kos kalo pas lagi krismon.

Asik iya, tapi sedih juga iya. Gimana enggak, jika kali ini kudu meninggalkan istri dan anak yang baru ulang tahun ke dua. Sebelumnya, udah hampir dua tahun bulat aku benar-benar kerja dari rumah. Karena sejak Juni 2021, aku putuskan untuk pindahan barang dari Jakarta ke Malang. Setelah dipikir-pikir, kembali ke kampung akan sedikit meringankan biaya bulanan. Ditambah, anak pertama kami yang baru lahir empat bulan sebelumnya, di bulan April. Dengan harapan kami bisa mengurus anak dengan bantuan keluarga untuk sementara waktu.

Kami sengaja menunggu usia si bayi sampai tiga bulan. Tidak ada alasan selain keamanan saat perjalanan, mengingat kami yang belum berpengalaman. Kami begitu antusias, mengingat keluarga besar di rumah yang belum melihat secara langsung anak laki-laki kami. Keluarga di rumah menyambut kedatangan malaikat kecil kami penuh cita, kami pun terharu dibuatnya.

Setelah kepulangan itu, semua hal berlanjut di Malang. Mulai dari pekerjaan sampai tetek-bengek tentang kehidupan. Jika dirasa, semuanya baik-baik aja. Maksudku, nggak ada yang sulit dan kami merasa sangat nyaman. Singkat cerita, saat pertengahan bulan Januari 2023 kemarin, email dari kantor mengumumkan akan diaktifkannya sistem Hybrid tersebut. Di saat itu juga, aku gak pernah menyangka gimana rasanya jika kami terpisah. Sedangkan sejak lahiran anak kami, istri memutuskan untuk berhenti bekerja di Jakarta dan memilih untuk kembali memupuk karir di Malang. Semua itu dilakukannya agar anak kami tetap bisa terpantau dengan baik. Selain itu, kami nggak akan tega saat jatah cuti lahiran istri berakhir dan kami kembali ke perantauan tanpa anak kami.

Setelah diskusi dan berpikir secara matang, kami memutuskan untuk melanjutkan semua seperti apa adanya. Aku kembali ke Jakarta dan istri beserta anak tetap tinggal di Malang. Hal yang terdengar menyedihkan di telinga beberapa teman kami. Tapi inilah jalan terbaik untuk saat ini. 

Kembali ke Jakarta sudah aku harapkan jauh sebelum notifikasi email berisikan pengumuman tersebut datang secara misterius. Karena atmosfer bekerja di kantor sangatlah jauh berbeda kalo dibandingkan dengan di rumah. Jujur aja, WFH akan terasa asyik untuk dua sampai tiga bulan pertama. Selebihnya, segala distraksi dan godaan-godaan untuk mencari kesenangan di luar lah yang datang silih berganti. Seringnya, pekerjaan jadi nggak fokus. Di samping itu, aku merasa jika berada di rumah adalah di saat-saat liburan, namun seolah dipaksa untuk menyelesaikan tanggungjawab akan pekerjaan. Sedangkan kenyataannya memang bukan sedang liburan. Dua hal yang cukup berlawanan. Karena setelah tiga tahun merantau, aku jadi terbiasa saat-saat di rumah adalah masa dimana liburan telah tiba, saatnya menikmati waktu bersama keluarga.

Semangat yang tadinya meredup karena masa bekerja dari rumah yang cukup lama, kini berangsur pulih dan membara. Dengan sigap, sebelum keberangkatan aku telah menyiapkan sebuah kamar kos mungil berukuran 2,5m x 2,5m berisikan sebuah kasur single, lemari plastik sedikit reot, dan sebuah kipas angin dinding. Harga yang pantas untuk mendapatkan fasilitas yang minim tersebut, tujuh ratus lima puluh ribu, dengan satu kamar mandi yang terpisah dengan kamar. Untungnya, kamar mandi tersebut hanya disediakan untuk dua kamar termasuk kamarku. Jadi kalo mau mandi atau keadaan darurat untuk setor barang gak perlu antri terlalu lama.

Tak hanya kamar kos, motor yang aku tinggalkan karena harapan kembali ke ibu kota masih terpendam dalam pikiran, akhirnya bertemu kembali dengan penunggang aslinya. Padahal di bulan Desember tahun lalu saat bertugas untuk supervisi sebuah project kantor di Jakarta, aku sempat memulangkan motor tersebut. Karena aku merasa seolah tak ada lagi kemungkinan untuk WFO secara tetap seperti yang sebelumnya dikabarkan.  Setelah motor tersebut pulang kampung selama sebulan dan pengumuman tersebut disebar, mau nggak mau dia kudu dikirim balik ke Jakarta. Jiancook! H-2 keberangkatan, aku pun pergi ke ekspedisi di pusat kota Malang untuk mengurus pengiriman tersebut.

Singkat cerita saat tiba di Jakarta, bus pun berhenti di pemberhentian terakhir yaitu Pool Damri Kemayoran. Untuk menuju tempat kos yang letaknya di daerah Meruya, aku memutuskan untuk memesan Gocar mengingat barang bawaan termasuk koper yang beratnya lumayan menyiksa. Ojek gak mungkin muat untuk mengusungnya, bisa-bisa ngguling nang embong.

Benar saja, saat tiba di kosan itu ukurannya memang kecil dan tampak sempit. Tapi aku pikir aku tetap bisa istirahat dengan tenang di tempat tersebut. Kamarnya di pojok belakang, nggak akan terjamah bising kendaraan atau raung mereka yang suka bawa pasangan haram masuk ke dalam kamar.

Juragan kos tersebut ramah. Seorang bapak-bapak bertubuh besar dan tinggi yang aku perkiraan berusia lima puluhan tahun. Tapi saat mengobrol dan mengantar menuju kamar, beliau bercerita kalo udah berumur enam puluh tujuh tahun. Sangat gak disangka, jika dilihat dari tampilannya yang necis dan terkesan santai itu. Beda dengan remaja jaman sekarang yang terkesan bertolak dari usianya, karena terlalu sering marah-marah sembari nendang pintu minta dibeliin vespa. Goblok taek.

Sambil berjalan menuju kamar yang letaknya paling belakang dari rumah yang luas itu, beliau menceritakan sedikit tentang sejarah kos-kosan tersebut. Mulanya, kamar-kamar tersebut hanya sejumlah empat ruangan. Satu kamar beliau, dan tiga sisanya adalah kamar anak-anak beliau, yaitu dua orang laki-laki dan seorang gadis. Dan kini menjadi sepuluh kamar. Menyambung cerita tersebut, aku pun menanyakan apakah si bapak sedang sendirian di rumah karena rumah tersebut nampak sepi sekali. Bapak itu pun menceritakan, jika dua orang anak laki-lakinya telah menjadi anggota angkatan darat dan laut. Dengan nada dan ekspresi yang sama, tanpa raut sedih atau menyesal sedikitpun, beliau juga menceritakan jika si gadis anak sulung telah pergi untuk selamanya. Ia mengidap penyakit paru-paru. Selang sepuluh bulan dari kepergian gadis tersebut, sang istri menyusul kepergian abadinya. Betapa menyedihkan cerita tersebut di telingaku. Namun beliau begitu kuat, dan telah benar-benar ikhlas akan keputusan Tuhan itu. Itulah jawaban dari sunyinya keadaan rumah tersebut saat para penghuni kos telah berangkat ke tempat kerja masing-masing.

Sejak di Jakarta bulan Februari lalu, rasa kangen akan mempersiapkan diri berangkat ke kantor pun akhirnya terobati. Suasana kantor yang asyik dan heboh telah kembali terlihat di depan mata, meski beberapa orang telah tergantikan dengan orang-orang baru. Tapi suasana kerja masih  tetap seru. Mengobrol dan bercanda dengan orang-orang seperjuangan bisa membuat kebosanan dan stress yang mengendap dalam kepala menguap gitu aja. 

Saat jam kerja selesai, aku selalu menyempatkan untuk menelfon keluarga. Baik istri untuk melihat aktifnya anak yang mulai ngerti barang-barang yang disebut mainan, maupun kedua orang tua yang telah lepas dari tanggungan pendidikan anak-anaknya. Setelah beberapa kali mengobrol dengan istri, ia memutuskan untuk kembali kerja di Jakarta di tahun depan. Sedang anak kami yang telah berusia tiga tahun akan dibawanya juga, sehingga kami akan tinggal bertiga. Setelah aku menanyakan antara menyewa ART atau menggunakan jasa Daycare, istri belum terlalu yakin dengan jawabannya. Tapi ia cenderung memilih Daycare. Meski begitu, kami akan tetap melihat kondisi di tahun depan, dan mencari solusi terbaik untuk anak kami. Kami yakin jika semua akan baik-baik aja. Meski kini terpisah jarak ratusan kilometer, kami akan tetap bisa terhubung dan berdiskusi dengan baik. Sedang aku gak akan pernah lupa tujuan untuk menggapai mimpi yang pernah terbingkai di kepala dengan apik.




Komentar

Postingan Populer